Empati adalah awal dari dunia yang lebih baik. Aku selalu percaya akan hal itu. Di tengah manusia dan segala dinamikanya, aku yakin yang kita butuhkan bukanlah tentang menjadi sama untuk semua aspek kehidupan, tetapi belajar memahami dan menerima perbedaan yang ada.
Dunia hari ini memiliki informasi yang melimpah. Dengan pemikiran dan jalan hidup yang kompleks, manusia menerimanya dengan caranya masing-masing. Ada yang mengamininya, menentangnya, atau sekadar menghormatinya. Semua hal itu wajar saja. Toh, selalu ada alasan di baliknya, bukan?
Sama halnya dengan buku yang akan kita bahas di tulisan kali ini. Buku berjudul Childfree & Happy ini menjabarkan alasan di balik keputusan sang penulis, Victoria Tunggono, menjadi seseorang yang childfree atau Bebas-Anak. Di saat standar kesuksesan di kalangan masyarakat adalah dengan menikah dan memiliki anak (terutama di usia muda), Kak Tori--sapaan akrabnya--dengan berani mendobraknya.
Dunia hari ini memiliki informasi yang melimpah. Dengan pemikiran dan jalan hidup yang kompleks, manusia menerimanya dengan caranya masing-masing. Ada yang mengamininya, menentangnya, atau sekadar menghormatinya. Semua hal itu wajar saja. Toh, selalu ada alasan di baliknya, bukan?
Sama halnya dengan buku yang akan kita bahas di tulisan kali ini. Buku berjudul Childfree & Happy ini menjabarkan alasan di balik keputusan sang penulis, Victoria Tunggono, menjadi seseorang yang childfree atau Bebas-Anak. Di saat standar kesuksesan di kalangan masyarakat adalah dengan menikah dan memiliki anak (terutama di usia muda), Kak Tori--sapaan akrabnya--dengan berani mendobraknya.
Penulis: Victoria Tunggono
Tahun terbit: 2021
Jumlah halaman: xxii + 150 halaman
Tahun terbit: 2021
Jumlah halaman: xxii + 150 halaman
Dimensi: 13 x 19 cm
ISBN; 978-623-94979-5-8
Penerbit: EA Books
Penerbit: EA Books
Di Indonesia, ide untuk tidak memiliki anak terdengar masih asing, bukan? Sebelum membaca ini, aku sendiri baru tahu ada ide semacam ini dari influencer Gita Savitri. Awalnya, aku masih terkejut dan salut. Tahu sendiri, lah, bagaimana mulut warganet Indonesia kalau ada satu saja tindakan yang tidak sesuai dengan standar yang mereka bangun sendiri? Keputusan ini kuakui cukup berani. Alasan yang dibuat Kak Gita pun terdengar masuk akal. Di salah satu IG Story-nya, ia mengatakan tidak ingin anaknya nanti menghadapi dunia yang kian hari kian memprihatinkan ini.
Senangnya, buku Childfree & Happy membantuku sepenuhnya memahami mengapa ada keputusan semacam ini. Kak Tori membahas alasan dan kendala apa saja yang dialami oleh orang-orang dengan prinsip childfree. Tak hanya tentang alasannya sendiri, ia pun menyertakan alasan beberapa orang lain dengan prinsip demikian.
Egois?
Cap yang sering didapatkan saat memutuskan tidak punya anak berdasarkan buku ini adalah egois. Setelah membaca semua alasannya, aku merasa sedih mereka harus mendapatkan cap semacam itu. Aku sendiri baru berusia 20 tahun saat menulis ini dan tentu belum pernah merasakan bagaimana memiliki anak. Namun, berdasarkan kacamataku sebagai seorang anak dan dari berbagai tulisan yang kubaca, aku paham betul bagaimana sulitnya menjadi orang tua. Itu adalah status yang disandang untuk selamanya tanpa ada kata “mantan” seperti hubungan-hubungan lainnya.
Pengorbanan untuk menjadi orang tua pun bukan main. Jika seseorang memutuskan untuk tidak memiliki anak karena ketidaksiapannya (dengan berbagai alasan di belakangnya), apakah itu masih bisa disebut egois? Bagaimana mereka akan berkorban untuk nyawa yang sebenarnya bisa untuk tidak dihadirkan jika mereka saja belum selesai dengan dirinya sendiri? Rasanya, jika mereka memaksa untuk menghadirkan nyawa tak berdosa itu dengan keadaan tersebut, itulah yang sesungguhnya disebut egois.
Ada beberapa kutipan dalam buku ini yang menunjukkan bahwa para childfree ini sesungguhnya begitu menyayangi anak yang mereka putuskan untuk tidak hadir ke dunia:
“Akhirnya, saya berpendapat bahwa membesarkan anak memerlukan kemampuan sendiri, atau kesepakatan dengan pasangan. Kalau tidak bisa bersepakat, misalnya, janganlah mengorbankan anak dengan ‘sekadar’ menghadirkannya ke dunia, lalu menyerahkan nasibnya sesuai arah angin kehidupan.” - Amanda Setiorini, halaman xi.
“Anak bagaikan sebuah komitmen yang harus dijaga, bukan permainan gambling.” - Romizawa, halaman 23.
“... Situasi dunia yang semrawut dengan pemanasan global, laut yang penuh plastik dan sekarang pandemi Covid-19 membuat kami merasa bahwa memaksa seorang anak untuk hidup di dunia yang kacau seperti ini tidaklah adil. Kita akan menjadi tua dan pada akhirnya mati, tetapi anak kita akan tetap hidup dan terpaksa berurusan dengan masalah-masalah di bumi yang kita tinggalkan. Sebagai generasi yang menanggung beban masalah dari generasi sebelumnya, kami tidak ingin melakukan itu pada anak-anak kami.” - Astrini, halaman 30.
Lantas, apakah memiliki anak adalah sesuatu yang buruk?
Seperti halnya childfree, memiliki anak juga merupakan sebuah pilihan. Jika memang dirasa siap, memiliki anak jelas sah-sah saja. Dengan melimpahnya informasi seputar pra-nikah dan parenting seperti sekarang, generasi saat ini dapat belajar menjadi orang tua yang lebih baik.Dengan kedua ilmu itu, banyak hal yang dapat diselamatkan saat menjadi orang tua. Sebut saja proyeksi ketidakpuasan hidup orang tua kepada anak-anaknya. Salah satu narasumber dalam buku Childfree & Happy, Naufal, adalah seorang dosen, peneliti, dan praktisi psikologi sosial. Ia akhirnya memutuskan untuk berprinsip childfree karena ia menyimpulkan banyak orang yang memiliki anak sekadar untuk memenuhi norma sosial dan mindset wishful thinking. Kedua hal itu ia nilai sebagai penyesalan orang tua yang membuat si anak kebingungan.
Konklusi
Pada akhirnya, aku merekomendasikan buku ini untuk menjadi salah satu wishlist bacaan. Buku ini benar-benar mewakili beberapa keresahan yang ternyata juga kurasakan. Aku berharap sedikit catatanku ini dapat menggerakkan hati kalian untuk memahami mengapa keputusan sebesar ini diambil oleh orang di luar sana, atau mungkin orang terdekat kalian (jika di hati kalian masih ada rasa keberatan atas pilihan hidup mereka).
Sebenarnya masih ada banyak kisah dan alasan di balik prinsip childfree dari buku ini yang tentu tidak bisa aku ceritakan dalam tulisan ini. Intinya, kalian tidak harus serta merta berprinsip childfree setelah membacanya. Goals dari Kak Tori sendiri dalam menulis Childfree & Happy pun agar orang-orang setidaknya memahami mengapa keputusan untuk tidak memiliki anak itu ada. Ayolah, hidup dalam keberagaman itu indah, kok!
Nah, jika kalian memang sudah mantap untuk membaca sudut pandang lain dalam buku ini, kalian bisa membelinya di toko buku daring atau aplikasi olshop kesayangan kalian. Jangan lupa beli yang asli, ya. Mari kita dukung karya anak bangsa.
0 Komentar